1. RUMAH ADAT JAWA TIMUR ( RUMAH JOGLO)
Rumah adat Joglo adalah
rumah adat dari daerah Jawa Timur. Di daerah Ponorogo banyak ditemukan rumah
adat Joglo. Umumnya Rumah Joglo yang terdapat di daerah Ponorogo memiliki dua
ruangan, yaitu: ruang depan dan ruang belakang.
Ruang depan/pendopo biasanya difungsikan
sebagai tempat menerima tamu, tempat mengadakan upacara adat dan sebagai balai pertemuan. Sedangkan ruang
belakang terdiri dari kamar dan dapur.
Pada Rumah Joglo, ruangan utama atau ruangan
induk dibagi menjadi 3, yaitu: sentong kiwo, sentong tengah dan sentong tengen.
Dalam masyarakat Jawa, kamar tengah
merupakan kamar sakral. Dalam kamar ini pemiliki rumah biasanya menyediakan
tempat tidur atau katil yang dilengkapi dengan bantal guling, cermin dan sisir
dari tanduk.
Kamar tengah umumnya juga dilengkapi dengan
lampu yang berfungsi sebagai pelita, serta ukiran yang memiliki makna sebagai
pendidikan rohani.
Di sebelah kiri (barat)
terdapat dempil yang berfungsi sebagai tempat tidur orang tua yang langsung
dihubungkan dengan serambi belakang (pasepen) yang digunakan untuk membuat
kerjinan tangan.
Sedangkan disebelah kanan
(timur) terdapat dapur, pendaringan dan tempat yang difungsikan untuk menyimpan
alat pertanian.
2. RUMAH ADAT BALI ( RUMAH GAPURA CANDI BENTAR )
Gapura Candi Bentar
merupakan nama dari rumah adat Bali. Pengambilan nama Gapura Candi Bentar
berdasar dari bentuk bangunannya yaitu berupa gapura. Gapura tersebut terdiri
dari 2 bangunan candi dibangun sejajar dan serupa yang merupakan gerbang pintu
masuk kepekarangan rumah. Gapura tersebut tidak memiliki atap atas yang
memisahkan kedua bangunan candi, sehingga kedua bangunan gapura candi tersebut
terlihat tampak jelas terpisah, yang menghubungkan bangunan gapura tersebut
adalah berupa anak-anak tangga dan pagar besi yang menjadi pintu jalan masuk.
Disekitar bangunan gapura terdapat patung-patung yang merupakan simbol dari
kebudayaan Bali.
3. RUMAH ADAT JAWA TENGAH (RUMAH JOGLO)
Secara sosial, dulunya tidak banyak yang mempunyai rumah
adat dikarenakan rumah ini merupakan lambang status sosial bagi orang-orang
Jawa yang mempunya kemampuan ekonomi yang berlebih. Rumah Joglo adalah jenis
rumah yang membutuhkan banyak bahan materi rumah yang mahal, terutama dari
kayu. Umumnya pemilik rumah Joglo dulunya berasal dari kalangan ningrat atau
bangsawan. Rumah jenis ini biasanya juga membutuhkan lahan yang luas
dikarenakan beberapa bagian rumahnya digunakan untuk menerima tamu atau memuat
banyak orang.
4. RUMAH
ADAT JAWA BARAT ( RUMAH PANGGUNG )
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk
panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah.
Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8
meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat
binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat
pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah
disediakan tangga yang disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang
biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga
untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.
Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang
berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional
ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu
Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu,
Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di
daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh
jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan
sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan
lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua
ujung suhunan itu.
5.
RUMAH ADAT YOGYAKARTA
Bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yaitu:
panggung pe, kampung, limasan, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya,
jenis tersebut berkembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat Jawa,
hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut
(Narpawandawa, 1937-1938).
Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut juga
ditentukan ukuran, kondisi perawatan rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam
rumah serta situasi di sekeliling rumah, yang dikaitkan dengan status
pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya ikut
berperanan. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka
sebelum membuat rumah di’petang’ (diperhitungkan) dahulu tentang waktu, letak,
arah, cetak pintu utama rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah, ukuran
dan bengunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya. Di dalam suasana kehidupan
kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan membuat rumah baru, tidak dilupakan
adanya sesajen, yaitu bensa-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus,
danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah
baru tersebut memperoleh keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar